Bagaimana Doktrin Pengudusan Mendorong Praktik Disiplin Gereja

Lebih dari 150 tahun yang lalu, pendeta Baptis John Dagg menulis, "Ketika disiplin meninggalkan sebuah gereja, Kristus akan pergi bersamanya." Dagg menyadari bahwa mengabaikan disiplin akan merusak kredibilitas kesaksian gereja. Ketika dosa yang tidak disesali membusuk di antara mereka yang mengakui nama Kristus, gereja mulai salah mengartikan Injil.

Oleh karena itu, Alkitab memanggil gereja-gereja untuk menerapkan disiplin (misalnya Mat. 18:15-17; 1 Kor. 5). Disiplin menjaga integritas kesaksian Injil dan kemurnian keanggotaan mereka.

Namun, praktik disiplin juga penuh dengan tantangan. Hal ini melibatkan investasi waktu dan energi penggembalaan yang signifikan. Hal ini juga dapat menjadi sulit, berantakan, menjengkelkan, dan berpotensi memecah belah. Karena alasan inilah, gereja-gereja cenderung menghindari penerapan disiplin dalam gereja.

Namun, mempraktikkan disiplin gereja bukanlah pilihan. Mengapa? Pertama-tama, karena Alkitab memerintahkannya. Selain itu, ada alasan lain yang ingin saya fokuskan dalam artikel ini. Kita mempraktikkan disiplin gereja karena itu adalah implikasi yang diperlukan dari doktrin pengudusan dalam Alkitab.

Sesungguhnya, disiplin gereja adalah sarana yang diberikan Allah untuk menumbuhkan umat-Nya dalam kekudusan. Disiplin ini bertujuan untuk kebaikan orang berdosa, kemajuan gereja, dan kemuliaan Allah. Memahami bagaimana doktrin pengudusan mendasari disiplin gereja dapat mendorong kita untuk lebih setia dalam mempraktikkan sarana anugerah ini.

1. Doktrin pengudusan menjadi dasar bagi disiplin gereja.

Pengudusan adalah karya Allah, yang melibatkan perubahan ke dalam yang dilakukan oleh firman Allah dan Roh Kudus. Berbicara melalui nabi Yehezkiel, Allah berjanji untuk menguduskan umat-Nya dengan memberikan hati yang baru: "Aku akan memberimu sebuah hati yang baru, dan roh yang baru akan Aku taruh di dalammu; dan Aku akan membuang hati yang keras dari tubuhmu dan memberimu hati yang lembut. Aku akan menaruh Roh-Ku ke dalammu, dan membuatmu berjalan dalam ketetapan-ketetapan-Ku, dan kamu akan taat untuk melakukan peraturan-peraturan-Ku." (Yeh. 36:26-27, AYT)

Oleh karena itu, pembenaran dan pengudusan -- meskipun berbeda -- tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan hasil dari persatuan kita dengan Kristus

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Yesus Kristus telah menggenapi pengharapan nubuat ini. Ketika kita percaya kepada Yesus, Roh-Nya berdiam di dalam diri kita dan memampukan kita untuk hidup dalam hidup yang baru. "Sebab, Allah telah melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh hukum Taurat karena dilemahkan oleh daging. Dengan mengutus Anak-Nya sendiri dalam keserupaan dengan tubuh jasmani yang berdosa dan untuk dosa, Ia menghukum dosa dalam daging, supaya tuntutan hukum Taurat yang benar digenapi dalam kita yang tidak hidup menurut daging, melainkan menurut Roh." (Roma 8:3-4, AYT). Pertobatan yang alkitabiah mengubah kita dari dalam ke luar melalui kuasa Injil.

Oleh karena itu, pembenaran dan pengudusan -- meskipun berbeda -- tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan hasil dari persatuan kita dengan Kristus. Dia tidak hanya menyelamatkan kita dari kesalahan dosa; Dia juga menyelamatkan kita dari kuasa dan kecemarannya. Seperti yang Paulus katakan dalam 1 Korintus 1:30 (AYT), "Oleh karena Dia, kamu ada dalam Yesus Kristus, yang untuk kita dijadikan hikmat, kebenaran, kekudusan, dan penebusan dari Allah."

Karena Yesus mengubah orang berdosa menjadi orang kudus, kita dapat mengharapkan umat perjanjian Allah yang baru untuk menjadi kudus karena mereka terus diperbarui oleh Roh Kudus. Di dalam Kristus, kita telah berpindah dari kegelapan kepada terang, dari kematian kepada kehidupan. Injil membawa ketaatan yang mengalir dari iman. Kita harus menjadi kudus sebagaimana Bapa surgawi yang memanggil kita adalah kudus (1 Petrus 1:15).

Oleh karena itu, gereja adalah umat yang kudus, ditebus dan dikuduskan bagi Allah melalui percikan darah Kristus dan pembaharuan Roh Kudus. Sebagai orang percaya, kita diharapkan untuk hidup dalam kekudusan dengan cara yang sesuai dengan panggilan kita. Kehidupan kita harus bercirikan gaya hidup yang penuh pertobatan dan iman karena kita telah dikuduskan.

Semua ini menjadi dasar bagi disiplin gereja.

Gereja mempraktikkan disiplin karena jati diri dari umat Allah di dalam Kristus. Itulah sebabnya Paulus mendorong jemaat di Korintus untuk menyingkirkan "semua ragi yang lama supaya kamu menjadi adonan baru, sebagaimana memang kamu tidak beragi. Sebab, Kristus, Domba Paskah kita, sudah disembelih." (1 Korintus 5:7, AYT) Dengan mengecualikan orang-orang yang berkanjang dalam dosa tanpa penyesalan, disiplin gereja memastikan bahwa mereka yang menyandang nama Kristus juga mencerminkan karakter-Nya yang kudus. Disiplin menjaga sifat kekudusan gereja Kristus.

2. Doktrin pengudusan memandu praktik disiplin gereja.

Karya pengudusan Allah tidak menghalangi tanggung jawab kita untuk mengejar kekudusan. Bahkan, berkat natur kita yang baru di dalam Kristus, kita dapat membuat kemajuan dalam pengudusan. Para teolog telah merangkum realitas-realitas ini dengan mengatakan bahwa pengudusan bersifat posisional dan progresif. Hal yang terakhir ini mengalir keluar dari yang pertama. Pengudusan adalah salah satu cara Allah menggenapi tujuan-Nya bagi kita: untuk membuat kita serupa dengan gambar Anak-Nya. Namun, karena kita belum sampai pada tahap itu, kita harus bertumbuh dalam keserupaan dengan Kristus sampai keselamatan kita sempurna.

Bersama dengan sarana-sarana kasih karunia lainnya -- seperti pelayanan firman, tata cara, persekutuan orang-orang kudus, dan doa -- disiplin gereja ada demi pengudusan kita. Ini bertujuan untuk kekudusan kita. Ini berarti gereja harus mempraktikkan disiplin dengan tujuan untuk menuntun orang yang melanggar kepada pertobatan dan pemulihan. Dengan memahami tujuan pengudusan, kita akan tetap fokus pada Kristus dan keserupaan dengan Kristus di tengah-tengah situasi pastoral yang penuh tantangan. Hal ini juga menjaga kita agar tidak mengeraskan hati atau tidak memiliki belas kasihan terhadap orang yang bersalah, dan untuk bertekun dalam mencari kebaikan kekalnya.

Dalam Matius 18, Yesus mengatakan bahwa tujuan kita menangani dosa orang lain adalah untuk "memenangkan saudara kita" (ay. 15) -- yaitu untuk memenangkan orang tersebut kembali kepada Kristus. Demikian pula, Paulus memerintahkan jemaat Korintus untuk menyerahkan orang yang tidak bertobat "kepada Iblis untuk kebinasaan dagingnya supaya rohnya boleh diselamatkan pada hari Tuhan" (1 Korintus 5:5, AYT). Disiplin gereja, jika dipahami dengan benar, tidak bertentangan dengan kasih. Bahkan, hal ini dimotivasi oleh kasih karena tujuannya adalah pertobatan dan pemulihan.

Aspek progresif dari pengudusan juga mengingatkan kita untuk bersabar dalam penerapan disiplin gereja. Perlu dicatat bahwa tepat setelah Yesus menginstruksikan murid-murid-Nya tentang disiplin gereja, Dia menekankan pentingnya memiliki semangat pengampunan (Matius 18:21-22). Di sisi kekekalan ini, kita akan terus bergumul dengan dosa. Pengudusan adalah proses seumur hidup, dan seringkali berjalan lambat dan sulit.

Jadi, meskipun kita berusaha untuk menghindari rasa puas diri terhadap dosa di dalam gereja, kita juga harus waspada terhadap jebakan untuk bersikap keras dan tidak sabar. Sama seperti Bapa surgawi kita yang sabar terhadap kita, marilah kita menjalankan disiplin dengan hikmat dan kelemahlembutan, supaya saudara atau saudari yang menyesal "tidak dikuasai oleh dukacita yang berlebihan" (2 Korintus 7). Seperti yang diingatkan oleh Paulus, "Saudara-saudara, jika ada orang yang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, kamu yang rohani harus mengembalikan orang seperti itu dengan roh kelembutan. Berjaga-jagalah supaya kamu sendiri jangan ikut tergoda. Saling menolonglah dalam menanggung beban supaya kamu menaati hukum Kristus." (Galatia 6:1-2, AYT)

Kita mencari pertobatan yang sejati, bukan kesempurnaan tanpa dosa. Yang terakhir ini harus menunggu sampai Yesus datang kembali, yang membawa saya pada poin terakhir kita.

3. Doktrin pengudusan mendorong pengharapan akan hasil dari disiplin gereja.

Menjalankan disiplin gereja memang sulit, tetapi kita dapat terus maju dengan iman, karena kita tahu bahwa Mempelai Laki-Laki kita akan menguduskan mempelai perempuan-Nya. Dia tidak akan gagal untuk "mempersembahkan jemaat kepada diri-Nya dalam kemuliaan, tanpa noda, atau tanpa kerut, atau semacamnya, sehingga jemaat menjadi kudus dan tidak bercela." (Efesus 5:27, AYT)

Inilah harapan kita: Tuhan kita mengenal dan mengasihi umat-Nya. Kita dapat mempercayai Dia untuk bekerja di dalam dan melalui kita demi kebaikan dan kemuliaan-Nya. Sementara kita mempraktikkan disiplin gereja, kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, pendiri dan penyempurna iman kita. Dia akan memastikan bahwa tidak ada satu pun dari domba-domba-Nya yang akan hilang. Oleh karena itu, bagian kita hanyalah menjadi gembala-gembala yang setia di bawah Gembala Agung kita.

Kita dapat yakin bahwa ketika gereja kita mendengarkan dan memandang kepada Tuhan, kita akan menjadi semakin serupa dengan-Nya. "Dan kita semua, yang dengan wajah tidak berselubung mencerminkan kemuliaan Tuhan, sedang diubah kepada gambar yang sama dari kemuliaan kepada kemuliaan, sama seperti Tuhan, yang adalah Roh itu." (2 Korintus 3:18, AYT)

(t/Jing-jing)

Diambil dari:
Nama situs : 9Marks
Alamat situs : https://www.9marks.org/article/how-the-doctrine-of-sanctification-propels-the-practice-of-church-discipline/
Judul asli artikel : How the Doctrine of Sanctification Propels the Practice of Church Discipline
Penulis artikel : Eugene Low
Tanggal akses : 5 Juni 2024