Selamat datang kembali di podcast hari ini. Selama tiga minggu ke depan, kita akan membahas tiga email menarik, Pendeta John, sesuai dengan jadwal pertanyaan yang sudah tersusun. Topik hari ini: Apa artinya melayani Allah? Minggu depan, kita akan membahas: Ketika kita melayani Allah, apa yang sebenarnya kita berikan kepada-Nya? Apakah kita memberi sesuatu yang belum Dia miliki? Apakah Dia membutuhkan kita? Itu adalah episode APJ 1957. Lalu seminggu setelahnya, kita akan mengupas: Apa artinya menjadi rohani? Spiritualitas adalah konsep yang samar dan sering membingungkan di dunia saat ini, dan kita akan mencoba merumuskan definisinya dalam APJ 1960. Ketiga topik ini sangat menarik karena merupakan fondasi penting dalam memahami apa artinya menjadi orang Kristen yang sejati dan hidup dengan benar dalam iman.
Jadi, topik kita hari ini adalah: Apa artinya melayani Allah? Pertanyaan ini datang dari seorang pendengar bernama Amy. Dia menulis, "Halo, Pendeta John. Beberapa hari lalu, saya berdiskusi dengan seorang rekan seiman tentang frasa 'melayani Tuhan', dan saya penasaran apakah Anda bisa menjelaskannya kepada kami. Di seluruh Kitab Suci, kita diperintahkan untuk 'melayani Tuhan'. Dalam Mazmur 100:2 dikatakan, 'Layani TUHAN dengan sukacita.' Ulangan 10:12 berkata, 'Dan layanilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu.' Yosua juga berkata, 'Aku dan seisi rumahku akan melayani TUHAN' (Yosua 24:15). Dan dalam Roma 12:11, Paulus juga mendorong kita untuk 'melayani Tuhan'. Namun, di Markus 10:45, Yesus berkata, 'Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.' Umat Kristen sering menggunakan frasa 'melayani Tuhan', tetapi saya sendiri tidak yakin benar apa makna sebenarnya dari frasa itu. Bisakah Anda menjelaskannya?"
Saya pikir ini adalah salah satu pertanyaan paling penting yang dapat ditanyakan oleh orang Kristen tentang bagaimana menjalani kehidupan Kristen dengan cara yang memuliakan Allah dan berbuat baik kepada orang lain. Pertanyaan ini membahas masalah yang sangat krusial, yaitu cara yang benar dalam melayani Allah yang menghormati Dia dan memberkati orang lain, dan cara yang salah dalam melayani Allah yang menghina Dia dan tidak menolong orang lain. Ini bukanlah masalah yang sepele. Kita berbicara tentang apa artinya menjadi seorang Kristen dari waktu ke waktu dalam kehidupan nyata.
Mari kita perjelas bahwa Amy benar bahwa Alkitab mengajarkan di mana-mana bahwa manusia harus melayani Allah, dan ketika Anak Allah datang ke dunia, kita harus melayani-Nya. Dalam Perjanjian Lama, Yosua berkata, "Aku dan seisi rumahku akan melayani TUHAN" (Yosua 24:15, AYT). Kemudian Paulus merayakan para petobat di Tesalonika karena "kamu berbalik kepada Allah dari berhala-berhala untuk melayani Allah yang hidup dan benar" (1 Tesalonika 1:9, AYT).
Berulang kali, Paulus menyebut dirinya dan orang-orang Kristen sebagai "hamba" -- yang secara harfiah berarti "budak" -- dari Kristus dan Allah (Roma 1:1; Efesus 6:6). Petrus juga menggunakan istilah yang sama dalam 1 Petrus 2:16 dan 2 Petrus 1:1. Ini jelas menunjukkan bahwa salah satu cara yang benar secara alkitabiah untuk menggambarkan hubungan kita dengan Allah adalah dengan menyebut diri sebagai hamba atau budak Allah dan Kristus. Amy menyoroti hal ini, dan memang sepatutnya begitu.
Lampu Peringatan
Nah, setelah kita menyebut diri sebagai hamba Allah, kita perlu bertanya dengan sungguh-sungguh: apa sebenarnya yang termasuk dalam melayani Allah -- dan apa yang justru tidak termasuk? Jika kita mulai melayani Allah seolah-olah kita bisa mendapatkan upah dari-Nya, atau seakan-akan kita bisa memenuhi kebutuhan-Nya, bahkan seolah-olah kita bisa membuat-Nya berutang budi kepada kita dan menjadikan-Nya sebagai penerima manfaat kita, maka saat itulah "lampu peringatan" dari Alkitab mulai berkedip terang.
Contohnya ada dalam Yohanes 15:15, ketika Yesus berkata kepada para murid-Nya, "Aku tidak lagi menyebut kamu hamba karena hamba tidak tahu apa yang dilakukan oleh tuannya. Akan tetapi, Aku menyebut kamu sahabat karena semua yang Aku dengar dari Bapa telah Aku beritahukan kepadamu." Namun satu ayat sebelumnya, dalam Yohanes 15:14, Dia berkata, "Kamu adalah sahabat-sahabat-Ku jika kamu melakukan apa yang Kuperintahkan kepadamu." Whoa -- sahabat macam apa itu?
Artinya, istilah "hamba" atau "budak" harus dipahami dalam konteks tertentu, begitu pula dengan istilah "sahabat." Kita tidak bisa begitu saja mengasumsikan bahwa pengertian kita tentang kata-kata ini sama dengan maksud Yesus. Kita harus mendengarkan dan membiarkan Dia mendefinisikannya.
Contoh lain dari "lampu merah" yang berkedip terang dapat kita temukan dalam Kisah Para Rasul 17:25: "... tidak juga Ia dilayani oleh tangan-tangan manusia, seakan-akan Ia membutuhkan sesuatu karena Dia sendiri yang memberi kepada siapa saja kehidupan, dan napas, dan segala sesuatunya." Jadi, ya, layanilah Dia -- tetapi bukan seolah-olah Dia memerlukan pelayanan Anda.
Peringatan lain muncul dalam Mazmur 50:12, 15, ketika Tuhan berfirman, " Jika Aku lapar, Aku takkan memberitahumu karena dunia dan segala isinya adalah milik-Ku. [...] Berserulah kepada-Ku pada waktu kesusahan, Aku akan menyelamatkanmu, dan kamu akan memuliakan Aku." Ini adalah salah satu ayat favorit Spurgeon -- dia menyebutnya sebagai ayat "Robinson Crusoe," karena kutipan itu muncul dalam novel tersebut. Ya, layani Allah, tetapi jangan pernah berpikir bahwa kita sedang memenuhi kebutuhan-Nya. Segala sesuatu sudah menjadi milik-Nya. Allah tidak membutuhkan bantuan kita. Kitalah yang memanggil-Nya saat membutuhkan sesuatu, bukan sebaliknya.
Dan inilah satu lagi lampu merah, yang dikutip Amy sendiri, dari Markus 10:45: "Sebab, bahkan Anak Manusia pun datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" Ini jelas peringatan yang gamblang. Dialah yang menyelamatkan kita, bukan kita yang menyelamatkan Dia. Dialah yang memenuhi kebutuhan kita, bukan sebaliknya.
Masih ada satu lagi "lampu merah" yang menyala sebagai peringatan. Kali ini tentang bahaya melayani Allah dengan cara sembarangan yang kita anggap benar. Dalam Roma 4:4-5, mungkin salah satu penjelasan paling mendasar dalam seluruh Perjanjian Baru, Paulus menjelaskan bagaimana kehidupan Kristen itu dimulai. Apakah kita dibenarkan dan ditempatkan dalam posisi benar di hadapan Allah karena bekerja bagi-Nya dan layak mendapat upah? Ataukah karena memercayai Dia untuk bekerja bagi kita di tengah ketidakberdayaan kita?
Inilah kutipannya: "Kepada orang yang bekerja, upahnya tidak dihitung sebagai hadiah, melainkan sebagai haknya. Kepada orang yang tidak bekerja, tetapi yang percaya kepada Dia yang membenarkan orang tidak benar, imannya diperhitungkan sebagai kebenaran." (AYT)
Dengan kata lain, kita tidak menjadi benar di hadapan Allah pada awal kehidupan Kristen kita dengan melayani Dia demi memperoleh upah keselamatan. Justru sebaliknya, Dialah yang bekerja bagi kita. Dia yang melayani kita. Bukan kita yang melayani Dia. Di kayu salib, Dia melakukan sesuatu yang mustahil dilakukan oleh manusia.
Jadi, dengan semua peringatan yang berkedip di hadapan kita, jelaslah bahwa kita tidak boleh melayani Allah dengan cara seperti itu; seolah-olah kita bisa mendapat bayaran, atau mencukupi kebutuhan-Nya, atau membuat-Nya berutang kepada kita.
Pertanyaannya sekarang: "Bagaimana seharusnya kita melayani Allah? Anda telah menunjukkan kepada kami semua cara yang keliru. Sekarang kami ingin tahu: seperti apa pelayanan yang benar?"
Setiap Langkah adalah Anugerah
Mungkin jawaban paling mendalam dan paling jelas tentang bagaimana seharusnya kita melayani Allah terdapat dalam 1 Petrus 4:11. Ayat ini selalu didoakan setiap kali saya akan berkhotbah di Bethlehem, selama bertahun-tahun, inilah ayat yang saya pegang sebelum naik ke mimbar:
"... siapa yang melayani, baiklah dia melayani dengan kekuatan yang Allah berikan sehingga dalam segala hal, Allah dimuliakan melalui Kristus Yesus. Bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya. Amin." (AYT)
Dengan kata lain, setiap usaha yang kita kerahkan untuk melayani Allah adalah usaha yang berasal dari Allah sendiri. Ini mungkin kalimat yang paling penting dalam seluruh pembahasan ini. Izinkan saya mengulanginya: Setiap pelayanan sejati kepada Allah adalah pelayanan yang dilakukan dengan kekuatan yang Allah berikan. Kebenaran ini harus sungguh-sungguh meresap ke dalam hati kita. Jika tidak, kita akan terus berpikir bahwa kita sedang memberi sesuatu kepada Allah -- seolah-olah kita bisa mencukupi kebutuhan-Nya. Padahal, Allah tidak butuh apa pun dari kita. Dia tidak dilayani seperti seorang yang kekurangan.
Pelayanan yang tidak menghormati Allah dan tidak menolong sesama adalah pelayanan yang dilakukan tanpa mengandalkan Allah. Pelayanan seperti itu justru mengalihkan perhatian orang dari anugerah Allah yang menopang segalanya, dan malah menekankan usaha moral buatan diri sendiri.
Semua pelayanan yang berkenan kepada Allah bergantung sepenuhnya pada kekuatan yang Dia sendiri sediakan. Atau, dengan kata lain: satu-satunya pelayanan yang menyenangkan Allah adalah pelayanan yang lahir dari sukacita karena menerima pelayanan-Nya yang penuh anugerah, baik kepada kita maupun di dalam kita.
Kita melihat prinsip ini dengan sangat jelas dalam 1 Korintus 15:10:
"Namun, karena anugerah Allah, aku adalah aku yang sekarang. Dan, anugerah-Nya kepadaku tidaklah sia-sia. Aku bekerja lebih giat daripada mereka semua, tetapi bukannya aku, melainkan anugerah Allah yang menyertaiku." (AYT)
Jadi ya, kita bekerja; ya, kita melayani. Kita memiliki seorang tuan; kita taat. Namun, setiap langkah kecil yang kita ambil dalam ketaatan kepada Tuan kita adalah anugerah kasih karunia dari-Nya kepada kita. Oleh karena itu, kita tidak boleh menganggap pelayanan kita kepada Allah sebagai cara untuk membalas kebaikan-Nya kepada kita, karena setiap langkah yang kita ambil dalam apa yang disebut sebagai balasan itu adalah pemberian lain darinya, dan itu membawa kita lebih dalam lagi ke dalam utang kepada anugerah, yang merupakan tempat yang mulia untuk selama-lamanya. Kita tidak akan pernah tidak berutang pada anugerah Allah. Untuk selama-lamanya, dengan setiap tindakan ketaatan yang penuh sukacita, kita akan semakin berutang kepada kemuliaan anugerah-Nya.
Kehidupan di Bawah Air Terjun
Sebagai penutup, inilah satu gambaran terakhir tentang jenis pelayanan yang unik kepada Allah. Yesus berkata, "Tidak ada orang yang dapat melayani dua tuan karena ia akan membenci tuan yang satu dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada tuan yang satu dan meremehkan yang lain. Kamu tidak dapat melayani Allah dan mamon." (Matius 6:24, AYT)
Pertanyaannya: bagaimana seseorang melayani mamon (uang)? Ini memberikan petunjuk penting. Melayani uang bukan berarti memenuhi kebutuhannya, karena uang tidak punya kebutuhan. Anda melayani uang dengan menyusun semua rencana dan usaha hidup Anda demi memperoleh apa yang dijanjikan uang: kenyamanan, keamanan, status, kekuasaan. Hidup Anda berputar di sekitar usaha untuk menempatkan diri dalam posisi yang paling menguntungkan secara finansial.
Demikian pula halnya dengan melayani Allah. Anda melayani Allah dengan menyusun semua rencana dan usaha hidup Anda untuk mendapatkan manfaat dari semua yang Dia janjikan bagi Anda. Hidup Anda diarahkan untuk menempatkan diri Anda di bawah air terjun berkat terbesar dari Allah, yaitu diri-Nya sendiri. Anda melayani dengan cara memosisikan diri untuk menerima Dia, menikmati Dia, dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya.
Maka, inilah kesimpulannya: Allah memang memanggil kita untuk melayani-Nya, bukan untuk memenuhi kebutuhan-Nya, melainkan untuk ambil bagian dalam menggenapi tujuan-Nya. Dan Dia menggenapi tujuan-Nya justru dengan memberikan kepada kita anugerah untuk mengerjakan tugas itu. Sang Pemberi mendapat kemuliaan, pelayan-Nya mendapat sukacita. Itulah rancangan Allah bagi dunia ini: kemuliaan-Nya dan sukacita umat-Nya di dalam Dia.
(t/Jing-jing)
| Diambil dari: | ||
| Nama situs | : | Desiring God |
| Alamat artikel | : | https://www.desiringgod.org/interviews/what-does-it-mean-to-serve-god |
| Judul asli artikel | : | What Does It Mean to Serve God? |
| Penulis artikel | : | John Piper |
sabda_ylsa
Yayasan Lembaga SABDA
sabda_ylsa
Selengkapnya
SABDA Alkitab
Podcast SABDA
Slideshare SABDA