Saya bukan ahli dalam memanen buncis, tetapi dari pengalaman, saya dapat mengatakan bahwa hal ini membutuhkan ketekunan dan perhatian yang besar jika dilakukan dengan tangan. Baru-baru ini saya menghabiskan satu bulan tinggal di pusat kota New York bersama Bruderhof, sebuah komunitas Anabaptis yang berdedikasi pada pemuridan dan berbagi hak milik. Pada suatu hari di bulan Agustus, salah satu kelompok dari komunitas tersebut memanen tanaman buncis sementara yang lain memasak daging babi di pengasapan untuk makan malam.
Panen buncis kami adalah gambaran pertukaran yang saling bergantung: dua pihak (pemanen dan juru masak) saling mengandalkan satu sama lain untuk memajukan tujuan bersama mereka, yaitu menyantap makanan. Gambaran ini menangkap esensi dari apa yang seharusnya terlihat sebagai sukarelawan di gereja. Sayangnya, hal ini sering kali tidak menjadi kenyataan bagi orang-orang seusia saya.
3 Alasan Gen Z Tidak Menjadi Relawan
Keterlibatan pengerja sukarela di gereja telah menurun sejak tahun 2013. Laporan Lifeway baru-baru ini menunjukkan bahwa keterlibatan sukarelawan sangat bervariasi dari satu gereja ke gereja lainnya, tetapi ketidakterlibatan tersebut terutama meningkat di kalangan Generasi Z. Berikut ini adalah tiga alasannya dan beberapa refleksi tentang apa yang dapat dilakukan oleh para pemimpin gereja untuk mengatasinya.
1. Kecemasan akan Kemungkinan
Studi menunjukkan bahwa Gen Z bergumul dengan kecemasan yang akut. Ketika seorang Gen Z mendengar tentang sebuah kesempatan untuk menjadi sukarelawan, ia mungkin takut akan apa yang disebut T. S. Eliot sebagai ?kemungkinan abadi? tentang ?apa yang mungkin terjadi?. Jerry Riendeau menyebut hal ini sebagai ?ketakutan akan pilihan yang lebih baik,? sebuah kecenderungan untuk menahan komitmen (atau berhenti membuat komitmen) jika ada hal yang lebih baik muncul.
Keraguan untuk melayani ini membuat Gen Z tidak mau menjadi sukarelawan, tetapi juga memberikan kesempatan bagi gereja untuk melakukan pemuridan. Salah satu cara untuk memanfaatkan kesempatan ini adalah dengan mengubah bahasa kita.
Michelle Van Loon menunjukkan bahwa ?sukarelawan gereja? adalah istilah yang tidak tepat karena istilah ini mereduksi anggota tubuh yang hidup dan bernapas menjadi apa yang dapat ia lakukan untuk gereja. Meskipun menggunakan istilah "sukarelawan" tidaklah salah (saya telah menggunakannya di seluruh artikel ini), menggunakan bahasa Alkitab adalah cara yang lebih baik untuk mendorong Gen Z ke arah pelayanan. Bagaimana jika kita menyebut satu sama lain sebagai "rekan sekerja" (1 Korintus 3:9), "teman" (Yohanes 15:14-15), dan "hamba" (Matius 20:25-28), bukan "sukarelawan"? Bagaimanapun juga, menjadi sukarelawan adalah sebuah pilihan, tetapi secara Alkitabiah, melayani bukanlah pilihan.
Melayani gereja mengajarkan Gen Z untuk menyerahkan otonomi dan kendali atas masa depan mereka kepada Kristus dan tubuh-Nya. Hal ini menantang visi kebebasan yang diterima secara luas pada zaman ini, yang mengartikan kebebasan sebagai melakukan apa yang kita inginkan. Alkitab mengingatkan kita bahwa ini bukanlah kebebasan, melainkan ketaatan pada hawa nafsu (Roma 1:18-21; 6:12-14). Kebebasan sejati ditemukan dalam melayani Allah yang benar. Seperti yang ditulis Petrus, "Hiduplah sebagai orang-orang yang merdeka, tetapi jangan pergunakan kemerdekaanmu itu sebagai kedok bagi kejahatan. Sebaliknya, hiduplah sebagai hamba-hamba Allah" (1 Petrus 2:16-17, AYT).
2. Skeptisisme
Banyak dari generasi saya yang tumbuh dalam gerakan pencari kebenaran. Hal ini membuat banyak orang menganggap gereja sebagai sebuah pusat perbelanjaan, bukan sebagai Bait Suci. Kita sering diberitahu bahwa gereja ada untuk kita, bahwa kita bisa menonton apa yang terjadi di panggung utama. Akibatnya, banyak Gen Z sekarang mengasosiasikan kekristenan dengan sikap hiburan sehingga mereka skeptis terhadap gereja dan misinya.
Sayangnya, skeptisisme seorang Gen Z dapat membuatnya menjadi sama pasifnya dalam melayani (atau bahkan lebih) daripada generasi sebelumnya. Bagaimana para pendeta dapat mengatasi sikap pasif ini? Mereka dapat mendampingi para Gen Z, mendorong kita bahwa sikap yang pasif ini tidak pernah menjadi bagian dari rencana Allah.
Banyak dari Gen Z yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip keadilan dan berusaha membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Semangat tersebut dapat dimanfaatkan jika para pendeta mau menghubungkan antara melayani dan misi gereja. Ketika Gen Z melayani, ingatkan mereka mengapa mereka melayani dan bagaimana hal itu akan memengaruhi dunia. Doronglah mereka untuk melihat gereja secara alkitabiah, sebagai sebuah tubuh dengan anggota-anggota yang sangat diperlukan yang harus menggunakan karunia-karunia mereka untuk menolong keseluruhannya (1 Korintus 12; 1 Petrus 4:10-11).
3. Perasaan Rendah Diri yang Sombong
Wajar jika orang berdosa merasa tidak layak di hadapan Allah yang kudus, tetapi rasa rendah diri yang wajar ini dapat berubah menjadi suatu bentuk kesombongan jika dalam perasaan tidak layak itu kita mulai mempercayai kebohongan tentang Allah. Meskipun mengakui dosa-dosa kita adalah hal yang rendah hati (dan alkitabiah) (1 Yohanes 1:9-10), tetapi sangat sombong jika kita mengatakan, "Saya tidak layak untuk dipakai." Ketika seorang Gen Z membuat pernyataan ini, dia menyerah pada kebohongan bahwa dia terlalu hancur untuk ditebus oleh Allah.
Ketika perasaan sombong karena merasa tidak layak menghalangi Gen Z untuk melayani, mereka perlu mendengar para pemimpin pastoral menegaskan bahwa Kristus adalah Imam Besar Agung yang menjadi perantara (Ibrani 7) dan menyucikan orang Kristen dari hal-hal yang tidak pantas, mempersiapkan kita untuk melakukan pekerjaan yang baik (2 Timotius 2:21). Para pemimpin gereja juga dapat membantu mereka yang merasa rendah diri untuk menyadari bahwa mereka tidak sendirian. Bahkan jika seorang Gen Z tidak mampu melayani dirinya sendiri, kita dapat menunjukkan kepadanya bahwa gereja adalah tentang orang-orang yang bekerja sama, dengan masing-masing menyumbangkan apa yang mereka mampu.
Pertukaran yang Saling Bergantung
Seperti pengalaman saya di Bruderhof, melayani di gereja adalah sebuah pertukaran yang saling bergantung. Hal ini melibatkan kerja keras dan makanan. Para pendeta yang berniat baik dapat berfokus untuk memenuhi kebutuhan sukarelawan, tetapi mengabaikan memberikan makanan pemuridan yang bergizi kepada jemaat mereka. Ketika para pemimpin mengabaikan strategi pemuridan yang berkelanjutan, para sukarelawan yang tadinya bersemangat menjadi lemah dan kelelahan. Para gembala jemaat yang lelah dan lapar seperti itu harus mendengar kata-kata Yesus kepada Petrus: "Gembalakanlah domba-domba-Ku" (Yohanes 21:17).
Sebaliknya, mungkin saja sebuah gereja memberi makan jemaatnya, tetapi tidak memperlengkapi mereka untuk melatih iman mereka dengan melayani orang lain. Minum susu rohani yang murni dari Firman Tuhan seharusnya menuntun kita untuk bertumbuh dalam keselamatan (1 Petrus 2:2). Para gembala jemaat yang lesu dan terlalu banyak jemaat harus mendengar perkataan Yesus: "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit" (Matius 9:37).
Ketika saya bergabung dengan sebuah gereja saat kuliah, saya pergi selama dua tahun tanpa melayani. Saya lebih menghargai jadwal yang terbuka dibandingkan dengan batasan komitmen pada hari Minggu pagi. Saya juga merasa terputus dan rendah diri. Kemudian, pada suatu hari Minggu, saya mendaftar untuk melayani. Saya berkomitmen untuk menjadi bagian tubuh yang rusak tetapi tetap berfungsi. Saya menukar "apa yang mungkin terjadi" dengan jalan pemuridan. Jalan ini menuntut daya tahan, perhatian, dan bangun pagi-pagi sekali pada hari Minggu, tetapi -- seperti halnya memetik buncis -- pekerjaan ini membuat hasil panen menjadi lebih manis. (t/Jing-jing)
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | The Gospel Coalition |
Alamat situs | : | https://www.thegospelcoalition.org/article/gen-z-service-discipleship/ |
Judul asli artikel | : | Invite Gen Z into Service and Discipleship |
Penulis artikel | : | Matthew Jordan |
Tanggal akses | : | 5 Juni 2024 |