Bertumbuh, Belajar, dan Melepaskan

Bagaimana Pola Asuh Mengungkap Kebutuhan Kita akan Iman

Baik kita membuat makanan, mengganti popok, maupun mengantar anak-anak ke tempat latihan baseball, orangtua adalah pelaku. Selalu dalam moda perlindungan, kita memakaikan tabir surya dan Band-Aids sesuai kebutuhan, dan ketika kita gagal atau sampai pada titik tidak bisa berbuat apa pun dengan kebutuhan yang tidak dapat kita selesaikan sendiri, kita berkonsultasi dengan para ahli.

Jauh sebelum orangtua dapat mengobrak-abrik Google atau WebMD untuk mendapatkan saran medis, ayah dalam kisah Markus 9 yang putus asa membawa kebutuhan putranya siang dan malam - sampai pada hari saat ia membawanya dengan harapan kepada Yesus. Dengan kekecewaan di wajahnya, dia melangkah keluar dari kerumunan dan bertemu dengan tatapan Yesus. Satu lengan melindungi bahu putranya, tetapi tidak terlihat kemiripan antara ayah dengan putranya yang diakibatkan oleh bekas luka bakar putranya, rambut yang tidak rata, dan alis yang hilang. Kasih dan penderitaan melemahkan suara pria itu ketika dia menjelaskan dilemanya kepada Yesus.

"Aku meminta murid-murid-Mu untuk mengusir roh itu, tetapi mereka tidak bisa. ... Dia kemasukan roh yang membuatnya bisu. ... Roh itu sudah sering melemparnya ke dalam api dan ke dalam air untuk menghancurkannya. Akan tetapi, jika Engkau dapat berbuat sesuatu, kasihanilah kami dan tolonglah kami-." .... (lihat Markus 9:17–18, 22)

Sebelum dia bisa menyelesaikan cerita itu dan sepenuhnya menyampaikan rasa frustrasi dan kebutuhannya, Anak itu jatuh ke tanah, tepat di depan mata Yesus yang penuh belas kasih.

Markus adalah satu-satunya dari empat penulis Injil yang mencatat tanggapan cemas sang ayah terhadap kepastian Yesus bahwa "segala sesuatu adalah mungkin" (Markus 9:23): "Aku percaya," katanya. "Tolonglah ketidakpercayaanku!" (Markus 9:24). Dengan tujuan untuk menggambarkan kemanusiaan dan tanggapan emosional Kristus, Markus meninggalkan gaya narasinya yang hanya berupa fakta-fakta singkat untuk mendokumentasikan ekspresi iman ayah yang dilemahkan oleh keraguan tetapi diperkuat oleh keputusasaan. Dalam ledakan emosinya, kita mendengar kengerian yang hampir tak kunjung hilang, kelelahan yang terus-menerus dari kewaspadaan yang terus-menerus.

Yang Dapat Dilakukan Yesus

Pengasuhan dilakukan seperti itu. Tidak seperti yang lain dalam kehidupan saya berikutnya, menjadi ibu telah membawa saya kepada ujung dari apa yang saya tahu pasti tentang Allah dan bagaimana mengikuti Dia dengan baik. Mengasuh anak telah terus -menerus mengungkapkan kebutuhan saya akan iman yang lebih kuat. Bahkan, dalam pengalaman yang relatif biasa saja dalam membesarkan empat anak laki-laki yang sehat, yang hanya sekali-sekali merasa sedih dan mengalami musim sakit flu yang tidak menentu, saya telah menemukan diri saya sering merasa terdorong ke dalam jurang antara kepercayaan dan ketidakpercayaan. Apakah saya percaya Yesus dapat menyelamatkan anak-anak saya? Apakah saya memercayai-Nya mengerjakan karya penebusan dalam hati mereka?

Saya ingin percaya.

Seperti ayah dalam kisah Perjanjian Baru ini, saya telah membuat kesalahan dengan membawa anak-anak saya untuk mendapat kesembuhan dan bantuan ke tempat-tempat di mana tawaran itu terdengar bagus, tetapi hasilnya mengecewakan. Saya telah mendengarkan para pakar pengasuhan anak, membaca buku-buku, mendapat berbagai tip dengan sesama teman ibu-ibu lainnya, dan berbicara sampai larut malam dengan suami saya tentang kebutuhan anak-anak kami. Dengan Yesus hadir sepenuhnya di setiap ruang, saya telah mencari Dia sebagai upaya terakhir - atau lupa sama sekali menghadirkan Dia dalam masalah.

Dengan keputusasaan sebagai orangtua yang jelas terlihat, sang ayah yang terus tergelincir ke dalam keputusasaan dalam Markus 9 dapat dihentikan setelah mengetahui bahwa Yesus dapat melakukan kepada putranya apa yang tidak dapat dilakukan orang lain. Kita mengikuti arahan-Nya ketika kita melakukan apa yang harus kita lakukan sementara juga memberikan ruang dalam praktik pengasuhan kita agar Yesus menunjukkan kekuatan dan cinta-Nya kepada anak-anak kita. Seperti apa itu dalam praktiknya?

1. Tekankan hubungan di atas/lebih daripada aturan.

Karena -- mata air kehidupan -- mengalir dari hati, motivasi internal untuk kepatuhan adalah kuncinya (Amsal 4:23). Kita memulai prosesnya dengan menghilangkan penekanan pengasuhan kita pada perilaku dan berfokus pada hubungan. Tentu saja, kita ingin anak-anak kita bergaul dengan orang lain, mematuhi peraturan rumah, dan bersikap baik kepada saudara-saudara mereka, tetapi kecuali perilaku mereka yang baik mengalir dari keinginan untuk menyenangkan Allah dan hidup dalam hubungan yang benar dengan Dia, kita hanya akan menghasilkan generasi pengikut aturan.

Pola pikir ini membutuhkan mental seorang pelari maraton, karena kita tidak sekadar berada dalam urusan memadamkan perilaku yang mengganggu atau tidak nyaman. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk meneladankan fondasi yang kuat untuk disiplin rohani (berdoa, pembacaan Alkitab, pelayanan, memberi, penyembahan) yang diterima anak-anak kita sebagai bagian dari hubungan yang bertumbuh dengan Allah. Semakin cepat kita keluar dari posisi sebagai perantara dalam pertumbuhan spiritual anak-anak kita, semakin baik.

2. Lakukan pekerjaan sebagai duta besar.

Perjalanan pengasuhan anak adalah misi dengan tujuan menghubungkan anak-anak kita dengan Yesus. Paul Tripp menyebut pengasuhan sebagai -- pekerjaan sebagai duta besar dari awal hingga akhir. . . . [P]engasuhan bukan pertama-tama tentang apa yang kita inginkan untuk anak-anak kita atau dari anak-anak kita, tetapi tentang apa yang Allah telah rencanakan dalam anugerah untuk lakukan melalui kita pada anak-anak kita -(Parenting, 14). Jadi, kita melakukan pekerjaan terbaik ketika kita dengan sengaja mengambil setiap kesempatan untuk mengubah pikiran mereka (dan pikiran kita sendiri) ke arah Dia/nya.

Kristen Welch, pendiri Mercy House Global, telah menolak narasi pengasuhan anak dengan tujuan "anak-anak yang bahagia," sebaliknya menginspirasi keluarganya untuk peduli terhadap orang lain. Dalam Raising World Changers in a Changing World (Membesarkan Pengubah Dunia dalam Dunia yang Berubah - Red), dia mengingatkan para orangtua, -Kita diciptakan untuk dipuaskan oleh Allah, bukan dunia ini, jadi semua pencarian kita akan kebahagiaan hanya akan membawa kita pada ketidakbahagiaan- (127). Ketika kita mengambil peluang untuk memperkuat kebenaran ini, peluang –peluang yang tak terelakkan seiring dengan kekecewaan hidup, kita memperkuat hubungan anak-anak kita dengan Yesus sebagai Penyedia, Penuntun, dan Sumber kepuasan.

Allah menginginkan pertumbuhan rohani anak-anak kita bahkan lebih daripada kita. Dia berkomitmen pada berlangsungnya pekerjaan keselamatan dan pengudusan, karena -- Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu (dan anak-anakmu!), akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.- (Filipi 1:6). Oswald Chambers memperingatkan orang-orang percaya tentang menjadi -- pemeliharaan amatir -- bagi orang lain, menukik seolah-olah kita dapat melakukan pekerjaan Allah dalam hidup mereka. Ini adalah pencobaan yang nyata dan saat ini untuk orangtua yang pengasih, tetapi ketika kita bergegas masuk untuk memenuhi setiap kebutuhan dan menyelesaikan setiap masalah, kita mungkin justru menggagalkan pekerjaan yang Allah ingin lakukan dan menghalangi Roh Kudus.

3. Memandang pemuridan sebagai kebiasaan sehari-hari.

Yesus menjadi pusat, bahkan pada aspek kehidupan duniawi ketika orangtua mengembangkan budaya keluarga dari Ulangan 6. Shelly Wildman, penulis First Ask Why, sangat percaya bahwa "orangtua adalah dan harus menjadi pengaruh utama dalam kehidupan anak-anak mereka" (21). Seperti keluarga Wildman, kita juga memiliki sejarah keluarga tentang devosi dan kisah-kisah Alkitab pada waktu makan. Tradisi dan ingatan bersama adalah simpul kuat untuk memperkuat ikatan keluarga dan untuk memperkuat rasa memiliki.

Namun, pemuridan yang hanya dilakukan di meja makan dan tidak pernah menemukan jalan keluar ke dunia aplikasi praktis yang luas, tidak lah sesuai dengan prinsip-prinsip Ulangan 6:4–9, yang menggambarkan pemuridan sepanjang hari - saat belajar duduk, berjalan, naik, dan berbaring yang mengambil bentuk unik di setiap keluarga.

Jika tujuan kita adalah untuk mengembangkan iman yang tangguh, semua yang kita lakukan harus mengarahkan anak-anak kita ke arah hubungan yang bermakna dan hidup dengan Kristus. Dengan melakukan itu, kita membantu mereka untuk memenuhi tujuan utama mereka: memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya. Kita mengomunikasikan hal ini dengan cara kita bangun dari tempat tidur di pagi hari, cara kita duduk dalam lalu lintas, dan bahkan dalam cara kita tidak sepakat satu sama lain.

Membawa anak-anak kita kepada Yesus termasuk mempersembahkan hidup dan napas kita sebagai persembahan yang "kudus dan berkenan" kepada Allah (Roma 12:1). Tish Harrison Warren menyebut ini Liturgi dari Hal-hal yang Biasa, karena meskipun cara kita "menghabiskan hari-hari kita terlihat sangat mirip dengan tetangga kita yang tidak percaya" (29), dengan roti isi selai kacang yang dibuat di meja dapur dan latihan piano setelah makan malam, perbedaan besarnya adalah pola pikir di mana orang percaya hidup dengan "mata terbuka ke hadirat Allah pada hari yang biasa ini" (36). Kita memperlakukan tubuh kita dengan hormat karena mereka adalah pemberian dari Allah. Kami merapikan tempat tidur, makan sisa makanan, dan berburu kunci kami yang hilang dengan harapan karena kami percaya Tuhan hadir dalam semua rutinitas kami dan pada saat-saat yang biasa.

Doakan Jalan Anda Melalui Pola Asuh

Ketika kerumunan dalam Markus 9 telah bubar dan Yesus memiliki saat pribadi dengan para murid-Nya, mereka dengan bersemangat menanyai Dia tentang upaya mereka yang gagal dalam pengusiran setan. Lagi pula, mereka telah ditugaskan dan diberi wewenang atas "roh-roh najis" (Markus 6:7), dan tiga dari mereka baru saja pulih dari pengalaman memabukkan ketika menyaksikan transfigurasi Yesus.

Tanggapan Yesus menghilangkan fokus para murid dan kekuatan pribadi mereka sendiri: -Jenis ini tidak dapat diusir hanya dengan doa- (Markus 9:29). Mungkinkah kegagalan mereka terkait dengan kesalahpahaman bahwa mereka bisa membuat perbedaan dengan kekuatan sendiri? Pada momen "aha" ini, para murid pasti menyadari dengan kekaguman bahwa mereka dapat membawa ayah dan putranya yang putus asa langsung kepada Yesus melalui sumber kekuatan doa. Dalam nada yang sama, baik ketika saya sangat jengkel dengan anak remaja yang suka menentang maupun tiba-tiba terbangun karena kekhawatiran tentang prospek pekerjaan anak saya yang sudah dewasa, tanggapan saya yang benar sebagai orangtua adalah menyerahkan anak saya kepada Yesus - bukan sebagai jalan terakhir, tetapi sebagai disiplin setiap-hari, jalan yang harus ditempuh dengan kerja keras.

Setelah kegagalan saya sendiri yang tidak beriman, adalah hal yang menguatkan sekaligus membuat rendah hati ketika mendengar Yesus berkata, -Jika Engkau dapat? Segala sesuatu mungkin untuk mereka yang percaya.- (Markus 9:23, MSG). Ketika kita sebagai ayah dan ibu membawa anak-anak kita kepada Yesus, kita mengakui peran-Nya dalam pertumbuhan dan pembelajaran serta pelepasan perjalanan pengasuhan anak. Dia sendiri yang bisa membebaskan kita dari upaya kita yang lemah dan gagal, dan Dia adalah sumber kekuatan yang memungkinkan kita untuk membuat visi pengasuhan kita menjadi kenyataan. (t/N. Risanti)

 

Diterjemahkan dari:

Nama situs:Desiring God

URL:https://www.desiringgod.org/articles/grow-learn-and-let-go

Judul asli artikel:Grow, Learn, and Let Go

Penulis artikel:Michele Morin