Misionaris Helen Roseaveare pernah berkata, "Untuk mengasihi Tuhan Allahku dengan segenap jiwaku akan melibatkan risiko spiritual. Aku harus memberikan kepada-Nya hatiku, untuk melaluinya mengasihi siapa dan bagaimana sesuai kehendak-Nya, bahkan jika itu sesekali menghancurkan hatiku."
Betapa sering hati saya hancur. Bukan karena hubungan yang berakhir, tetapi oleh tantangan -tantangan yang saya temui dalam memuridkan wanita-para pemudi yang telah Allah tempatkan dalam hidup saya. Bertumbuh sebagai anak seorang pendeta perguruan tinggi dan menghabiskan seluruh kehidupan dewasa saya untuk melayani para mahasiswa atau pekerja muda, saya dapat membuktikan kebenaran kata-kata Roseveare. Saya belum pernah mengalami kegembiraan yang begitu besar sekaligus beban berat dan kehancuran, seperti saat saya bekerja pada salah satu golongan masyarakat ini. Mengapa? Apa tantangan -- tantangan yang muncul dalam memuridkan para pemudi?
Tantangan #1: Komunitas
Sebagian besar mahasiswa tinggal dekat dengan komunitas mereka. Pagi, siang, dan malam, mereka makan bersama, mengikuti kelas bersama, dan pergi bersama ke Sonic pada tengah malam. Salah satu diskusi paling umum yang saya lakukan dengan para wanita muda /pemudi di tahun pertama atau kedua setelah mereka di luar perguruan tinggi berkaitan dengan seperti apa komunitas setelah kehidupan kampus usai.
Ketika setiap orang bekerja dari pukul delapan hingga pukul lima, butuh upaya dan perencanaan untuk saling bertemu. Dan, dengan berpencar-pencar setelah lulus, banyak lulusan perguruan tinggi harus memulai dari awal untuk berteman. Selain itu, perlu waktu lebih lama untuk saling mengenal ketika Anda tidak hidup bersama atau berpapasan setiap hari di alun-alun segiempat.
Seorang pekerja muda baru-baru ini memberi tahu saya bagaimana kelompok kecilnya telah bersama -sama selama dua tahun, tetapi dia masih merasa tidak dapat sepenuhnya terbuka mengenai beberapa pergumulannya. Meski pemimpin kelompok kecilnya mengetahui detail ceritanya, dia tidak ada di sana bersama anggota kelompok lainnya karena mereka jarang menghabiskan waktu bersama di luar pertemuan mingguan mereka. Jadwal kerja, beragam prioritas, dan keseimbangan "kelompok teman" lainnya merupakan tantangan untuk mengembangkan rasa kebersamaan dalam kelompok kecil.
Keintiman membutuhkan kepercayaan, dan butuh waktu untuk membangun kepercayaan semacam itu. Sementara kesepian sudah menjadi masalah bagi wanita muda para pemudi lajang, kurangnya relasi-relasi yang mendalam serta bermakna, dan waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan persahabatan semacam itu meningkatkan rasa kesepian.
Dengan mengetahui hal ini sebagai tantangan bagi kelompok masyarakat ini, pemuridan membutuhkan intensionalitas dalam menciptakan peluang bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama di luar kelompok kecil serta bersama orang -orang lain di gereja. Pemuridan juga melibatkan pembinaan bagi mereka untuk memulai dalam meminta orang lain mengambilkan kopi atau untuk bergabung bersama, dan bukannya menunggu untuk diundang.
Tantangan #2: Emosi
Baru-baru ini, salah satu gadis dalam kelompok kecil saya menceritakan bagaimana dia memiliki kesadaran yang mengubah hidup -- ahwa dia bisa mempertanyakan perasaannya alih-alih terbawa oleh perasaan itu. Di antara para pemudi, saya sering menemukan kurangnya pemahaman yang sama tentang cara mematuhi Allah dengan emosi kita.
Begitu banyak keadaan emosional yang tidak sehat yang saya lihat berasal dari ketidaktahuan, bahkan tentang bagaimana (perilaku/emosi) yang sehat itu. Itu tidak pernah dicontohkan kepada mereka di rumah. Jadi, semenjak lahir, mereka belajar untuk menanggapi orang-orang lain dengan cara yang berdosa. Dan, ketika mereka menjadi dewasa dan menyadari bahwa emosi dan pola perilaku mereka tidak sehat, mereka berjuang untuk mengetahui mengapa mereka merasakannya dan apa yang harus dilakukan terhadap emosi dan tanggapan mereka yang tidak sehat.
Misalnya, dalam pertemuan baru-baru ini dengan seorang lajang berusia dua puluhan, sebagian dari waktu kami digunakan dengan berfokus pada bagaimana menanggapi emosi-emosi negatif seperti kemarahan dan kecemasan. Saya memberitahu bagaimana dia harus terlebih dahulu mengakui emosi itu - tidak meledak karenanya atau menekan perasaannya - karena, untuk menghadapi sebuah emosi, kita harus terlebih dahulu mengenalinya. Selanjutnya, kita perlu bertanya mengapa kita merasa seperti itu. Setelah kita mengenali pikiran dan keyakinan di balik emosi itu, kita dapat kita dapat mengukurnya dengan menggunakan Alkitab sebagai dasar untuk memastikan apakah itu sejalan dengan kebenaran Allah. Jika tidak, maka kita perlu mengenali dan mengingatkan diri kita tentang apa yang benar.
Kita tidak dikendalikan oleh emosi kita. Dengan anugerah Allah dan oleh kuasa Roh-Nya, kita dapat memengaruhi perasaan kita; jika tidak, Allah tentunya tidak akan memberi kita begitu banyak perintah dalam Alkitab yang berkaitan dengan emosi kita! Akan tetapi, membantu para pemudi untuk menjadi taat kepada Allah dengan emosi mereka adalah sebuah tantangan, dan bukan tantangan yang sering dibahas dalam gereja lokal. Akan tetapi, pikirkan tentang seberapa baik keadaan kita semua jika kita hidup sesuai dengan Resolusi ke-60 dari Jonathan Edwards, yang menyatakan, "Bertekadlah, setiap kali perasaan-perasaanku mulai terlihat sedikit saja tidak beres, ketika aku sadar merasakan ketidaknyamanan walaupun sedikit, atau sedikit saja tidak seperti biasanya, maka aku akan memeriksa diriku baik-baik."
Tantangan #3: Dosa Seksual Tersembunyi
Tantangan ketiga ini mungkin akan mengejutkan beberapa orang. Meskipun dosa pornografi dan masturbasi bukan hanya dosa para pemudi, gereja jarang mengenali bahwa para pemudi sedang bergumul dengan dosa-dosa ini.
Musim panas lalu, saya melakukan survei seksual anonim di antara para pemudi dalam pelayanan kaum lajang 20-an/30-an kami, dan saya menemukan bahwa masturbasi adalah dosa seksual yang paling umum di antara golongan ini dalam gereja kami. Menonton film porno dan membaca cerita erotis berkaitan dengan hal ini karena keduanya adalah dua cara utama bagi para wanita untuk membangkitkan gairah mereka sendiri.
Menariknya, 51% dari gadis-gadis yang disurvei saat ini sedang berjuang /bergumul dengan masturbasi, dan 19% bergumul dengan hal itu pada masa lalu. Dan, hanya 43% dari gadis-gadis yang disurvei ini pernah mendengar pengajaran Alkitab tentang masturbasi (itu benar-benar mengejutkan saya bahwa jumlah yang banyak ini pernah mendengar pengajaran Alkitab tentang masalah ini). Akan tetapi, bukan hanya para wanita muda dalam konteks saya /para pemudi dalam survei saya yang bertempur dengan dosa-dosa ini. Semakin banyak saya memberikan ceramah dan menulis tentang dosa seksual, semakin banyak saya berjumpa dengan wanita di seluruh negeri yang terlibat dengan pornografi dan masturbasi, seringkali bahkan sampai ke tingkat kecanduan.
Ini adalah dosa-dosa yang harus kita bicarakan dengan para wanita yang kita muridkan. Kegagalan untuk memuridkan umat kita mengenai seksualitas yang alkitabiah berarti kita membiarkan mereka dimuridkan oleh budaya (dunia), yang tidak memiliki masalah dengan pornografi, masturbasi, hidup bersama, homoseksualitas, dan sejumlah tindakan lain yang disebut Alkitab sebagai dosa. Bungkamnya kita = keterlibatan dan kapitulasi terhadap budaya.
Meski memuridkan para pemudi dapat menghabiskan waktu, melelahkan secara emosional, dan, kadang-kadang, memilukan, saya sangat berterima kasih kepada Allah karena mengizinkan saya memperoleh hak istimewa untuk berjalan bersama bagian khusus dari tubuh Kristus ini. Meskipun demikian, hal itu pasti memiliki momen-momen tertentu, dan seperti yang ditulis Roseveare, mengikut Allah berarti siap untuk membayar risiko spiritual yang tinggi. Namun, saya selalu menyadari bahwa Dia sepenuhnya berharga. (t/N. Risanti)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | radical.net |
URL | : | https://radical.net/challenges-in-discipling-young-women/ |
Judul asli artikel | : | Challenges in Discipling Young Women |
Penulis artikel | : | Ashley Chesnut |