Lima Rintangan Modern untuk Pelayanan
Seorang teman dekat yang sedang putus asa mengeluh kepada saya baru-baru ini, "Bagaimana kita melayani dalam iklim ini?" Dia tidak berbicara tentang pola cuaca subtropis yang lembap di Carolina (yang pada umumnya cukup menyenangkan). Ia merujuk pada lingkungan pelayanan generasi muda pada awal tahun 2020-an.
Beberapa tanggapan yang bertentangan muncul dalam diri saya.
Merasakan Kesulitannya
Tanggapan pertama saya adalah, "Pada dasarnya, saya merasakan kesulitan Anda."
Pelayanan tempat saya bekerja, Campus Outreach, berfokus pada penginjilan dan pemuridan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dua dekade lebih saya terlibat dalam pelayanan kampus, saya belum pernah menemukan momen yang cukup menantang seperti ini. Saya percaya bahwa perpaduan faktor budaya (COVID, teknologi, dan filosofi modern adalah beberapa contohnya) telah membawa kita ke tempat ini. Meskipun setiap individu dan subkultur berbeda, saya memiliki firasat dari pengalaman bahwa sebagian besar pendeta di dunia Barat mengalami banyak (bahkan semua) tantangan berikut pada tingkat tertentu.
1. Takut akan Ketidaktahuan Sosial
Selama dua tahun terakhir, saya belum menyaksikan banyak ketakutan langsung terhadap COVID dari orang-orang muda. Namun, saya telah menyaksikan rasa takut mereka yang jelas dalam menghadapi situasi sosial baru. Trennya mengkhawatirkan di tahun-tahun sebelum COVID (walaupun saya pikir itu mungkin lebih mirip dengan FOMO di tahun 2010-an), tetapi sekarang bahkan sudah keluar dari grafik.
Ketakutan terlihat dan diketahui, berhubungan dan membangun hubungan dekat dengan orang lain, meskipun bukan ketakutan baru, telah tumbuh kembali akibat keterisolasian yang terjadi selama dua tahun terakhir. Jadi, undangan ke platform komunal organik apa pun untuk berelasi -- retret, konferensi, bahkan permainan adu frisbee -- disambut dengan keengganan lebih daripada yang pernah saya temui sebelumnya.
2. Kesendirian di Tempat Umum
Mengutip Tony Reinke, "Smartphone menyebabkan pembalikan sosial: keinginan untuk menyendiri di depan umum dan tidak pernah benar-benar sendirian ketika seorang diri" (12 Ways Your Phone Is Changing You, 124). Ada tempat di mana pembalikan ini sudah membuahkan hasil, bahkan sejak dua puluh tahun yang lalu: gym dan pesawat terbang, misalnya. Tapi penerimaan sosial dari layar gawai di tangan (dan mata yang menatapnya) berarti bahwa mendapatkan akses ke mata seseorang berarti mengganggunya. Layar gawai (dan headphone!) adalah alat sosial kaku, sarana untuk mengatakan, "Jangan bicara padaku!" tanpa harus bersikap kasar.
Oleh karena itu, dunia luas menjadi perpanjangan dari ruang tamu, di mana risiko telah diminimalkan dan saluran komunikasi dikontrol dengan ketat. Hanya sedikit yang benar-benar mengalami apa yang dibicarakan Bilbo kepada Frodo dalam The Fellowship of the Ring: "Ini adalah hal yang berbahaya, Frodo, keluar dari pintu rumahmu. Kamu melangkah ke jalan, dan jika kamu tidak menjaga langkahmu, tidak ada yang tahu ke mana kamu akan dibawanya." Itu kutipan yang bagus, tapi mungkin bisa diperdebatkan. Jika kita dapat menemukan cara untuk membawa kursi malas kita, transformasi akan lengkap. Dan ruang tamu selalu terasa terlalu pribadi untuk dimasuki.
3. Hilangnya Landasan Moral yang Tinggi
Dahulunya interaksi penginjilan saya, baik dengan orang asing atau teman, telah menimbulkan faktor "seharusnya" dari penerima Injil. Penolakan mereka terhadap Yesus sering kali diimbangi dengan perasaan bahwa kekristenan adalah jalan yang benar. Secara moral. Tetapi zeitgeist ("semangat zaman" atau jiwa pemikiran zaman - Red.) masa kini mengasosiasikan Kekristenan dengan ketidaktahuan, kefanatikan, dan penindasan. Jadi sekarang, kita tidak hanya mencoba meyakinkan orang bahwa hidup yang diserahkan kepada Yesus lebih baik daripada apa pun yang ditawarkan oleh dunia seks dan uang dan kekuasaan; kita mencoba meyakinkan mereka bahwa orang Kristen pada dasarnya tidak rasis, seksis, dan penindas.
4. Hilangnya Kategori 'Penjahat'
Dalam beberapa tahun terakhir, Anda mungkin telah memperhatikan banyaknya film, terutama buatan Disney, yang menceritakan latar belakang penjahat klasik (Maleficent, Cruella, Joker, beberapa contohnya). Dalam setiap cerita, penjahat digambarkan sebagai orang yang disalahpahami dan sangat tersakiti. Memang, dosa keturunan di dunia yang rusak itu kompleks. Namun kontras antara penggambaran Maleficent di Sleeping Beauty dan di film yang lebih baru di mana dia adalah tokoh utamanya sangatlah mencolok.
Bahasa terapeutik, dengan semua keuntungan dan kerugiannya, telah memenangkan masyarakat kita secara komprehensif (saya sungguh-sungguh merekomendasikan The Rise and Triumph of the Modern Self karya Carl Trueman untuk penanganan menyeluruh terkait tren ini). Dua puluh tahun yang lalu, beberapa pendeta dan teolog dengan keras menentang Injil harga diri. Saat ini banyak orang yang mengakui dan menolak pelanggaran yang sebelumnya diabaikan, tetapi saya khawatir, dalam prosesnya, harga diri lama telah masuk melalui pintu belakang.
Seorang pendeta yang saya kagumi pernah menyajikan aliterasi "Penjahat, Korban, Pemenang" untuk menangkap kategori di mana semua pengikut Kristus secara serentak menemukan diri mereka sendiri. Kita adalah pelaku dosa terhadap Allah dan sesama (penjahat), penerima dosa orang lain (korban), dan pemenang dosa melalui karya Kristus di kayu salib dan karya Roh Kudus (pemenang).
Dalam pengalaman saya, kategori penjahat sebagian besar telah terhapus. Kategori korban diasumsikan dan penegasan kemenangan, bahkan dalam konteks kegagalan, telah diberikan ("Kita semua pemenang!"). Tetapi satu-satunya pintu menuju kerajaan Kristus adalah melalui pengakuan dosa pribadi. Ketika ada pembelaan filosofis yang diterima secara luas dan mengaburkan pandangan kita kepada pintu itu, maka secara signifikan pelayanan akan lebih menantang.
5. Sajian Gangguan Tanpa Akhir
Pemuridan seumur hidup membutuhkan komitmen berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, dan bahkan bertahun-tahun. Itu membutuhkan fokus ke ayat-ayat Kitab Suci yang berkelanjutan. Dibutuhkan pikiran fokus dan relasi yang disengaja -- kualitas lebih mudah dicapai tanpa rentetan rangsangan yang konstan, baik untuk hiburan (Netflix, YouTube, TikTok), koneksi manusia (Instagram, Snapchat, Facebook), atau informasi (podcast, presentasi TED, artikel -- ya, saya melihat ironi). Gangguan-gangguan itu telah secara drastis mengurangi kebutuhan yang dirasakan akan komunitas sejati, akan disiplin keheningan dan kesendirian, dan akan Paulus yang sejati bagi Timotius.
Dimanjakan dengan Ekspektasi yang Meningkat
Jadi, tanggapan pertama saya adalah, "Saya merasakan kesulitanmu." Tapi kemudian tanggapan kedua saya adalah ini, "Kita telah dimanjakan."
Pelayanan Injil Amerika dalam setengah abad terakhir, terutama di kampus perguruan tinggi, hampir tidak ada bandingannya dalam hal keberhasilan. Saya duduk di sebuah ruangan dengan lebih dari tujuh ratus staf Campus Outreach pada tahun 2013, dan tuan rumah pertemuan meminta semua orang yang telah menjadi percaya di kampus melalui pelayanan Campus Outreach untuk berdiri. Sekitar tiga perempat ruangan meninggalkan tempat duduk mereka.
Staf ini sebagian besar berkuliah di akhir 1990-an dan awal 2000-an, ketika jumlah pelayanan sedang sangat banyak. Sebagai seorang mahasiswa, saya adalah bagian dari pelayanan yang mencakup hampir 10% dari seluruh pendaftar perguruan tinggi "sekuler". Panen milenium sudah matang di kampus-kampus Amerika. Sementara itu, di seluruh dunia, misionaris yang setia berjuang untuk menerjemahkan Kitab Suci, mempelajari budaya, dan berharap melihat seorang atau beberapa petobat baru dalam tahun-tahun pelayanannya. Dan mereka masih seperti itu sekarang.
Dengan latar belakang keberhasilan yang nyata, saya telah menemukan, setidaknya untuk diri saya sendiri, bahwa saya perlu menangkap kembali teologi salib yang sehat, di mana kita dicurahkan, kadang-kadang dengan penuh penderitaan, untuk pembentukan murid-murid (Gal. 4:19). Kita perlu menangkap kembali keajaiban suatu hati yang dijadikan baru (Yeh. 36:26). Kita perlu mengingat kepuasan yang berlawanan dengan intuisi yang datang dari pelayanan yang tampaknya tidak membuahkan hasil (1Kor. 15:58), dan bahkan sukacita yang aneh karena menderita malu demi nama Kristus (Kis. 5:41). Yang kemudian mengarah ke tanggapan ketiga dan terakhir saya.
Bukankah Itu Selalu Sulit?
Dari merasakan penderitaan, hingga perlu mengalibrasi ulang asumsi, saya juga bertanya, Bukankah selalu seperti ini?
Dengan kata lain, mungkinkah menekan tombol panik ketika momen budaya tertentu sedikit reaksioner? Komitmen kita terhadap Kekristenan yang alkitabiah mengharuskan kita untuk percaya bahwa Kitab Suci cukup untuk memperlengkapi kita menghadapi tantangan kehidupan dan pelayanan modern (2Tim. 3:16-17). Hal itu hanya dapat menegaskan bahwa mereka tidak lekang oleh waktu, menyiratkan bahwa baik kondisi manusia di abad kedua puluh satu dan tantangan budaya zaman kita tidak menyimpang terlalu jauh dari yang ada pada zaman Alkitab ditulis. Saya rasa sangat bermanfaat untuk mengingat realitas rohani yang tak lekang oleh waktu ketika pelayanan tampak suram.
Semua orang masih memiliki kecenderungan bawaan untuk menukar kebenaran Allah dengan kebohongan untuk menyembah dan melayani ciptaan (atau diri sendiri) daripada Sang Pencipta (Rm. 1:24-25). Kristus yang disalibkan masih membawa bau kematian bagi mereka yang tidak memiliki Roh Kudus (2Kor. 2:15-16). Dan para pelayan itu sendiri kadang-kadang masih lamban, berjuang untuk terus memberitakan Injil Kristus yang harum, selalu membutuhkan iman, pengharapan, dan kasih yang diperbarui.
Orang-orang di masa itu memiliki kekosongan berbentuk-Allah di dalam hati mereka. Mereka diciptakan untuk keintiman dengan Allah dan dengan sesama mereka, bahkan ketika mereka menekan kebenaran dalam ketidakbenaran. Mereka ingin tahu dan dikenal dan sekaligus takut akan keintiman itu.
Jadi, mengutip Ellis dalam No Country for Old Men, "Apa yang Anda dapatkan bukanlah hal baru." Secara mendasar, dalam hal yang paling penting, penolakan itu persis sama pada tahun 50 M seperti pada tahun 2022. Sungguh menakutkan.
Tetapi jika perlawanan pada dasarnya sama, demikian juga Roh yang mendiami kita dengan kuasa ilahi. Sabda salib akan selalu menjadi hal bodoh bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan itu tidak pernah berhenti menjadi kekuatan Allah (1Kor. 1:18). Dia tidak pernah berhenti menggunakan hal-hal bodoh untuk mempermalukan orang bijak, bejana tanah liat untuk membawa harta (1Kor. 1:27; 2Kor. 4:7). Dan jika itu benar, maka akan ada banyak orang yang tak terhitung oleh siapa pun dari setiap suku, bahasa, umat, dan bangsa yang mengelilingi takhta Anak Domba (Why. 7:9).
Yesus Kristus tetap sama kemarin, hari ini, dan selamanya (Ibr. 13:8). Jadi, apa pun iklim spiritualnya, kita menawarkan Dia kepada dunia dengan penuh pengharapan. (t/Jing-Jing)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Desiring God |
Alamat situs | : | https://desiringgod.org/articles/is-discipleship-more-challenging-today |
Judul asli artikel | : | Is Discipleship More Challenging Today? |
Penulis artikel | : | Matt Reagan |