Kesenjangan Pemuridan Pada Era Teknologi

oleh: Ed Stetzer

Pada tahun 1988, Saya dan istri saya, Donna, membangun gereja pertama di Buffalo.

Banyak permasalahan yang kami hadapi dalam jemaat kami yang masih ada sampai sekarang. Kami masih berjuang menghadapi isu rasisme dan seksisme di dalam gereja maupun di dunia luar. Meskipun jenis obat-obatan telah berubah, menentang penyebaran, serta menyembuhkan kecanduan narkoba masih menjadi akar kehidupan gereja saat ini.

Namun, untuk semua kesamaan, sulit untuk menekankan berapa banyak kemajuan pesat teknologi dan internet yang telah mengubah kehidupan di dalam maupun luar gereja. Mari kita lihat dua poin data dari survey Pew Research Center berikut:

Poin Data #1: Penggunaan telepon genggam telah bertambuh dari 62% pada tahun 2002 hingga 95% pada tahun 2018.

Dalam kurun waktu kurang dari 16 tahun, telepon genggam telah berubah dari hal yang biasa menjadi sesuatu yang penting. Kita telah sampai pada waktu di mana seseorang yang tidak memiliki telepon genggam adalah hal yang tak lazim.

Penemuan alat komunikasi instant dengan siapa pun, di mana pun, kapan pun, serta antar berbagai macam medium, mengubah cara kita bergaul dengan orang lain. Serentak kita tidak pernah sendirian; kita selalu membawa keluarga dan teman kita di telapak tangan kita.

Poin Data #2: Penggunaan Smartphone telah bertambah dari 35% saat pertama keluar pada tahun 2001, sampai 77% pada tahun 2018.

Layaknya telepon genggam, smartphone telah berubah dari hal yang tampaknya tidak nyata menjadi sesuatu yang penting. Bukan hanya keluarga dan teman-teman, secara serentak seluruh dunia terbuka untuk kita. Kita selalu terhubung, terkait, dan didatangi oleh suara-suara yang tak henti-hentinya berteriak mencari perhatian kita.

Dari dua poin di atas, apakah mengejutkan bila perkumpulan pendeta yang dilaksanakan setiap hari minggu terasa sangat berbeda dibandingkan dengan yang saya lakukan pada tahun 1988? Di dalam buku baru saya, Christian in the Age of Outrage, saya mengutarakan bahwa perubahan pesat ini merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kebiadaban di masa kini. Kita mempunyai semua teknologi baru dan media daring ini di mana kita dapat bereaksi secara langsung, untuk memperjelas suara-suara pemecah berai yang paling nyaring. Kita adalah sebuah masyarakat di mana setiap orang memiliki sebuah alat pengeras suara, dan hanya sedikit orang yang mampu menolak godaan untuk menggunakannya.

Sayangnya, gereja, sama seperti masyarakat yang lain, perlahan telah beradaptasi dengan perubahan ini. Terdapat sebuah jenjang di dalam pemuridan digital antara pentingnya teknologi di dalam keseharian kita dan seberapa efektif pemimpin Kristen dapat memuridkan jemaatnya dengan menggunakan teknologi yang sesuai. Di dalam buku, saya merefleksikan hal ini:

   Orang-orang Kristen seringkali memiliki kebiasaan buruk yang sama dengan orang lain, hal-hal yang tidak hanya merusak kesehatan dan hubungan mereka, tetapi juga kesehatan rohani dan kesaksian mereka. Kendati menghadapi bahaya-bahaya itu, kapan terakhir kali gereja Anda mengajarkan tentang sosial media dan konsumsi media sosial selayaknya. Sesungguhnya, pemuridan mengajarkan bagaimana orang Kristen dapat mengembangkan kebiasaan berteknologi yang saleh? Di samping pendeta kaum muda yang memperingatkan tentang perundungan dunia maya (cyberbullying), kapan pesan tentang teknologi yang telah membentuk hidup dan sikap kita pada dunia maya, yang berhubungan langsung dengan iman kita disampaikan? Saya telah mendengarkan banyak khotbah yang menyampaikan masalah pornografi, tetapi saya dapat menghitung dengan satu tangan, seberapa sering seorang pendeta atau guru sekolah minggu membahas lebih dalam akan pemuridan dalam dunia maya.
   
Orang-orang Kristen telah menyaksikan kemunculan pasar digital, dan bukannya berpikir secara kritis tentang sifat dan akibatnya, mereka langsung ikut memakainya. Inovasi demi kemuliaan Allah, kita sering berkata, meskipun kita tahu bahwa alasan sebenarnya adalah inovasi demi perkembangan sarana. Bahkan, pemuridan mungkin tidak terbersit dalam benak kita sama sekali.

Dalam penelitian yang kami adakan di Billy Graham Center Institute bersama dengan mitra LifeWay Research,  kami menyelidiki cara-care teknologi dan sosial media mempengaruhi hidup dan kesaksian injili.

Kita menemukan bahwa teknologi dan kebiasaan-kebiasaan daring orang percaya, kebanyakan mirip dengan yang dilakukan publik pada umumnya, bahkan mungkin melebihinya. Alat sosial media yang paling banyak digunakan oleh orang Kristen adalah Facebook, dengan lebih dari tiga perempat orang Kristen (77%) mengatakan mereka menggunakan situs itu secara rutin (dibandingkan denagn 71% orang non-Kristen). Meskipun tidak sebanyak Facebook, Youtube (46%), Instagram (28%), dan Twitter (22%) memiliki jumlah penggunaan yang signifikan di antara orang Kristen.

Mungkin yang lebih penting dari hanya penggunaan media sosial adalah untuk apa kaum Injili menggunakan media sosial. Hampir seperempat kaum Injili (24%) mengatakan bahwa mereka ikut serta dalam diskusi permasalahan sosial politik.

Bandingkan itu dengan hampir setengah lainnya (44%) yang mengatakan bahwa mereka jarang dan hampir tidak pernah ikut serta dalam pembahasan masalah-masalah sosial politik. Hal ini menggambarkan sebuah tantangan dari persekutuan modern yang dihadapi pendeta-pendeta saat ini.

Mayoritas jemaat-jemaat di dalam persekutuan menggunakan sosial media secara rutin. Beberapa melibatkan diri dalam isu-isu harian yang kontroversial dan beberapa menghindarinya seperti wabah penyakit. Setiap minggunya, Anda kedatangan jemaat yang telah merusak kesaksiannya oleh karena perselisihan-perselisihan daring penuh amarah yang merusak, sedangkan sebagiannya lagi hanya memiliki gambaran yang kurang jelas tentang situs Twitter.

Bagaimana Anda bisa memuridkan jemaat yang memiliki banyak perbedaan di dalam sikap ini?

Teknologi digital baru dan akun media sosial kita mempunyai potensi terselubung untuk memajukan Injil Yesus Kristus. Pada saat yang sama, teknologi juga dapat menjerumuskan orang-orang, gereja, serta komunitas.

Pemuridan yang efektif dapat membantu orang Kristen menempa alat-alat teknologi untuk melayani Kristus, alih-alih hanya menjadi budak kehancuran mereka. Dalam buku yang saya tulis, saya menggarisbawahi beberapa prinsip agar orang Kristen memikirkan kembali cara menyesuaikan sikap mereka di dunia maya dengan imannya.

Pada saat yang sama, saya mendorong orang-orang Kristen untuk memandang pelayanan setempat di dalam komunitas dan gereja Anda sebagai ladang misi utama bagi orang percaya. Pada masa di mana teknologi membuat hubungan berelasi semakin jauh dan terisolasi, melibatkan/menarik sesama kita dengan Injil telah menjadi hal yang sulit.

Ini merupakan dunia baru, yang penuh dengan perselisihan dan amarah, dan mempunyai dampak yang tidak terlihat bagi keluarga dan gereja kita. Orang Kristen harus berpikir dengan cermat akan bagaimana mereka dapat hidup dan berelasi di dalam dunia baru ini, demi kemuliaan Kristus dan kerajaan-Nya.

(t\Gabriel)